.

.



KICAUAN KATA

            Kicauan burung itu memang selalu ada, menemani pagi bahagiaku disini. Ya, di tempat yang sepi. Tak semua orang mengetahui tempat ini, tempat yang hening ini. Dengan sebuah lantunan melodi aku bernyanyi menghidupkan suasana di sekelilingku, lalu aku terhenti di sebuah nada, dan aku putuskan untuk berhenti bernyanyi dan mencoba mendengarkan dan menghayati nada itu. “Ya Tuhan, nada ini mengingatkanku pada sebuah peristiwa yang sangat menyesakkan hatiku”. Ucapku lirih. Aku terus mendengarkannya dalam-dalam.

            Tak lama kemudian, saat itu aku melihat seorang gadis dengan raut kekesalan dan kekecewaan duduk termenung menatap langit. Gadis itu membuatku sangat tertarik untuk mendekatinya. Aku coba mendekatinya, dan bertanya.
“Apa kau baik-baik saja? Sepertinya kau sedang bersedih. Siapa namamu? Kau dari mana?”

 “Aku Ira. Kau tak perlu tahu aku dari mana. Aku hanya sedang mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Kau siapa?”
“Hmm. Aku Nimara.  Aku biasa kesini. Ini tempatku mencari inspirasi. Itu, rumahku di ujung sana”. 
“Ooh”, jawab Ira sambil menunduk. 
“Maaf, Ira, jika aku boleh bertanya, kenapa kau terlihat sedih?”

Lalu Ira menatapku, dan tiba-tiba dia menangis sekencang-kencangnya. Rasanya menyakitkan melihatnya menangis seperti itu. Aku coba lebih mendekatinya, menyentuhnya dan merangkulnya.
“kau tenang ya, jangan menangis. Jika kau butuh teman untuk bercerita, aku bersedia menjadi temanmu. Tapi aku mohon kau berhenti menangis, ya.”
Lalu Ira pun menarik napasnya dalam-dalam dan coba meredakan tangisannya.
“Aku hancur, aku sakit, aku tak tau harus berbuat apa, aku terlalu lemah. Kenapa Tuhan memberikan perasaan ini padaku? Kenapa Tuhan membiarkanku mencintainya jika akhirnya dia tak kan pernah menjadi milikku? Aku mencintainya, tapi dia mengkhianatiku. Kurasa aku adalah wanita yang sangat sakit, rapuh. Aku tak kuat harus menjalani semua ini.”
Subhanallah. Hatiku sangat berdebar saat dia berbicara dengan suaranya yang lirih dan menyakitkan. Aku coba menenangkannya.
“Ira, kau harus tenang”.
“Aku tak tahu harus kemana. Laki-laki itu berpaling hati, dia menghianatiku, padahal dia berjanji akan membuatku bahagia, tapi kenapa sekarang dia seperti itu. Sakit. Kenapa aku harus mencintainya?” tangisannya pun semakin deras kali ini.
“Ira, bolehkah aku meminta sesuatu? Apa aku juga boleh bercerita padamu tentang diriku?”
Lalu Ira pun menghentikan tangisannya, dan coba mengontrol emosinya. Aku coba berbicara padanya saat dia bersedia untuk mendengarkan ucapanku.”
“Ra, sebaiknya kita tidak harus terpaku pada satu pertanyaan. Bagaimana kita bisa hentikan hembusan angin? Bagaimana pula kita bisa hentikan cinta yang hadir? Semua itu sudah menjadi sebuah takdir yang ditetapkan Allah kepada hamba-Nya, Ra. Percayalah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya”
Suasana pun semakin terasa hening
“Mmm, ia, Nimara. Apa saat ini aku sedang emosi? Aku tak tahu. Aku marah saat seorang teman memberitahuku bahwa pacarku mencintai orang lain. Dan saat itu seharian dan sampai sekarang dia tidak mengabariku. Aku marah. Dan aku tak mau lagi bertemu dengannya. Dan ini bukan hal yang pertama.”
“Ra, kau sedang marah, setan sedang membelenggumu. Maaf, saranku lebih baik kau coba tanya baik-baik pacarmu itu apakah yang dikatakn temanmu itu benar atau tidak? Ya ,meskipun kita juga sebagai seorang perempuan harus berhati-hati dengan ucapan seorang laki-laki, tapi mungkin dengan sebuah komunikasi yang baik, kau juga akan tahu apakah kau berhak mempertahankan ini semua.”
“Seseorang pernah berkata padaku, jika kita berani mencintai seseorang, kita harus mau menerima apapun konsekuensinya. Cinta pada seorang manusia itu memang menyakitkan, tapi jika kau memang ingin merasakan cinta yang sebenarnya maka cintailah Allah dengan sepenuh hatimu, titipkan hatimu pada Allah. Cinta itu adalah sebuah ketenangan hati dan kedewasaan dalam berfikir, mungkin kau tau itu. Dan sepertinya kondisi yang membuatmu seperti ini.”
Lalu ira pun terdiam, menunduk dan sedikit demi sedikit air matanya kembali jatuh.
“Kau tahu? Aku juga mencintai seseorang sama sepertimu, dan saat ini dia belum bisa lagi kulihat”. Lalu ira menatapku dan bertanya “kenapa?”
“Dia sangat jauh dipelupuk mataku. Dia sibuk, jarang sekali menemuiku. Dia sedang bermain, mencari sebuah pengalaman, memberikan arti yang berharga kepada orang lain, walaupun itu menyakitkan. Dia bukan orang baik, tapi dia berusaha menjadi orang baik. Dia tidak bisa memberikan janji-janji manis seperti apa yang pacarmu lakukan yang akan membuatmu bahagia, tapi dia mencintaiku, dia menyayangiku, dan aku pernah melihatnya pergi berdua dengan wanita lain.”
Ira nampak bingung dengan perkataanku
“Apa maksud ucapanmu? Dari mana kau tau dia mencintai dan menyayangimu, sedangkan dia jarang sekali kau lihat bahkan menemuimu? Dan jelas-jelas kau melihatnya dengan wanita lain, apa kau tak marah?”
Aku pun tersenyum, dengan hati yang coba kutenangkan dan kekuatan yang coba kukumpulkan, aku mencoba menjawab pertanyaan ira.
“Ra, aku mendengar kata hati. Hati kecilku berkata itu, walaupun aku tak terlalu berharap dia akan menjadi milikku. Cara dia mencintaiku sangat berbeda dengan yang lain, dan itu tidak aku sesali, malah justru aku harus mensyukurinya jika memang ada seseorang yang mencintaiku dengan caranya yang sulit aku mengerti. Dan jika memang itu akan mendekatkan nya pada Allah, insya Allah aku siap. Aku titipkan hatiku dan hatinya pada sang pemilik cinta.”
“Dan kau tahu? Banyak sekali konsekuensi yang harus aku hadapi. Tapi dari awal aku memang sudah tahu, jika memang aku ingin mencintainya aku juga harus menerima segala konsekuensinya. Jika memang dia sedang bersama orang lain, itu memang haknya, dan kita belum mempunyai hak untuk melarangnya dekat dengan wanita lain.”
“Tapi apa kamu akan sakit, apa kamu akan terima, apa kamu akan marah, jika dia tidak menjadi milikmu?”
Pertanyaan-pertanyaan Ira kembali membuat jantungku berdebar, tapi aku mencoba untuk tetap tenang dan menjawab pertanyaannya.
“Marah? Mungkin dia saat ini bukan siapa-siapa untukku. Bahkan jika memang dia pergi, aku sangat mempersilahkan itu, bahkan aku kan berterima kasih karna dia telah mengnalkan sesuatu hal yang tak pernah aku bayangkan, dan jika memang pada akhirnya dia memang mengikat janji suci itu denganku, dia memilihku, aku akan sangat bahagia.”
“Tapi perlu kita ingat juga, bahwa jodoh kita adalah titipan Allah, dan pada akhirnya Allah pun akan mengambilnya. Tinggal menunggu waktu apakah dia yang lebih dulu pergi atau bahkan kita yang meninggalkannya, kita harus ikhlas. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yakinilah semua rencana Allah itu indah. Pada akhirnya memang cinta pada manusia itu tidak ada yang abadi, dan keabadian itu hanya cinta pada-Nya, cinta kepada Allah.”
“Walaupun hati terdalam sangat tak ingin berpisah dengan orang yang kita cinta, tapi sebenarnya kita tak perlu takut, karena akan ada yang tetap mencintai kita, dan melindungi kita. Bahkan mungkin Allah juga yang akan mengabadikan kita dengan orang yang kita cintai di surga nanti. Semua itu kembali pada apa yang kita tanam pada awal nya dan kita akan menuainya nanti.”
Aku melihat butiran air mata kembali turun dari mata indah Ira.
“Kau kenapa?’
“Nimara, kau sangat mengejutkanku. Aku baru pertama kali menemukan perempuan sepertimu, sekuat dirimu, sesholehah dirimu. Aku banyak belajar darimu arti ketulusan dan ketegaran. Apa kau pernah merasakan sakit hati?”
Hmh aku pun kembali tersenyum untuk kesekian kalinya.
“Aku perempuan biasa, aku juga dapat menangis, dan merasakan apa itu sakit hati.”
 “Lalu apa yang kau lakukan saat itu? Apa kau merasakan hal yang sama sepertiku, merasa hancur dan sakit?”
“Apa yang aku lakukan? Aku selalu beristighfar jika aku marah, jika aku kesal, sehingga kemarahan dan kekesalan itu bisa diredam. Sakit memang, tapi cukuplah hanya satu-dua tetesan air mata yang jatuh, dan kita kembali bangkit menjadi kuat. Aku menangis bukan karena aku cengeng. Tapi aku coba mengeluarkan energi dan mencoba mengumpulkan energi yang baru.”
“Hancur? Aku tak pernah merasa diriku hancur, karena aku selalu mencoba mengembalikan semuanya pada pemilik hati ini, Ira. Dan ada pun bagaimana aku meredamkan dan meluapkan, aku mencoba berkarya. Ya, aku mencoba bangkit dan menunjukkan bahwa aku harus menjadi perempuan yang hebat. Aku luapkan semua rasa sedihku dengan berkarya. Ya, tulisan adalah karya yang bisa aku buat, dan mungkin aku bisa menjadi penulis hebat nantinya dengan menceritakan semua peristiwa indah yang aku alami, bahkan peristiwa orang lain. Hehe, yah aku menghayal lagi.
Kita pun saling melepas tawa saat aku bergurau.
“Nimara, kau itu luar biasa. Oke, sekarang aku tidak mau menangis lagi.” Jari-jari Ira mengusap airmata yang mulai mengering di pipinya. Senyumnya pun merekah.
“Aku harus kuat sepertimu. Dan aku juga harus berkarya. Aku jadi lupa dengan mimpi-mimpiku. Aku harus menggapainya. Terimakasih banyak, Nimara. Kita baru saja bertemu, tapi rasanya aku sangat nyaman berada di dekatmu. Aku bercerita padamu, rasanya kita sudah kenal sangat lama, hatiku merasa sangat lega sekarang. Terima kasih banyak, Nimara. Pertemuan ini sangat berarti untukku.”
            Ira kemudian kembali bertanya, “O iya, Nimara, apa kamu sekarang sedang menantinya? Kau itu baik, pasti banyak orang yang menyukaimu.”
“Mmm, aku tak tahu. Tapi hati ini sangat merindukannya. Aku hanya sedang menunggu jawaban dari semua persoalanku, dan hanya aku dan Allah yang tahu.”
“Memang ada beberapa yang mendekatiku, tapi entahlah aku belum bisa mempunyai perasaan yang sama, aku belum menemukan yang lain, yang seperti dia. Mereka yang datang, belum cukup membuat hatiku tertarik dan jatuh. Mereka yang datang belum dapat membuatku sesak seperti dia yang selalu membuatku sesak.”
 “Lalu, jika ternyata kau tak bersamanya, bagaimana?’
“Ya tidak apa-apa. Walaupun aku tahu itu sangat menyedihkan, tapi kita mengembalikan semuanya kepada Allah. Kita harus yakin, bahwa Allah mempunyai rencana lain yang lebih indah, dan akan memberikan yang jauh lebih baik darinya. Semua kembali bagaimana kita  menanam pada awalnya.”
“Bahkan aku pernah duduk di samping seseorang yang katanya dia sayang sama aku, dia serius sama aku. Tapi entah kenapa, Ra, jantungku berdebar biasa saja. Berbeda ketika aku duduk di samping orang yang selama ini belum ada buat aku. Dan  kau tahu? Ini sangat luar biasa.
“Iya, Nimara, itu luar biasa banget. Benar apa katamu, kita harus kembalikan semuanya kepada Allah, agar hati kita tenang, dan kita harus selalu siap menghadapi apapun selama itu baik, dan yang terpenting kita harus menjadi wanita yang hebat.”
            Aku pun tersenyum melihat semangat yang muncul pada diri Ira. Dia jauh lebih baik dari satu jam yang lalu, yang penuh dengan rasa sakit, gelisah, dan kekecewaan.
            Ya, hanya ini yang biasa aku bagi dengannya. Hanya cerita, pengalaman dan perjalanan ini yang bisa aku berikan padanya untuk sekedar mencoba menenangkan hatinya, walaupun aku baru mengenalnya. Benar apa dikatakan Ira, “kita seperti sudah kenal sangat lama”.
            Terimakasih, ya Allah. dengan sedikit berbagi dan dapat membuat seseorang tersenyum, aku semakin kuat, aku juga semakin merasakan sebuah ketenangan. Aku sangat mensyukuri semua nikmatmu ini, ya Rabb, dimulai saat aku terbangun dari tidurku menyambut kicauan burung di pagi bahagiaku.
            Setelah obrolan itu, kita semakin sering bertemu, dan berbagi cerita, bahkan mendatangi tempat tinggal untuk bersilaturahmi. Dan pada akhirnya kita pun menjadi sahabat. Ira sangat pintar memainkan sebuah melodi dengan pianonya, sedang kan aku masih tetap menulis, menulis, dan menulis.
            Di sela-sela permainan pianonya, Ira suka becanda seperti ini,  “Ya semoga saja pas aku lagi main piano begini tiba-tiba ada yang serius membawa keluarganya ke rumah dan berkata ‘will you marry me’ sambil membawa bunga, hehehe.” Sedangkan aku sendiri ingin bertemu dengan kekasih hatiku setelah aku berhasil menerbitkan sebuah karya. Menghabiskan waktu menunggunya, kita beribadah, berkarya, dan bersosial. Semoga saja. Aamiin ya Allah.
            Semangat ya buat muslimah yang baca catatan ini. Semoga kamu menemukan orang yang mencintaimu karena-Nya, dan kau pun mencintanya. Aamiin. (Agnia Ilma Khaerani)

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top