.

.



Ini bukan cerita tentang seorang insan yang dipertemukan dengan cinta sejatinya. Bukan pula kisah tentang seorang pengembara yang menemukan kebahagiaannya di akhir cerita. Apalagi, ini juga bukan tentang perjalanan seseorang yang dapat mewujudkan mimpi-mimpinya. Tapi ini, tentang aku. Tentang diriku yang mencoba untuk berbagi keindahan dengan sesuatu yang menjadi salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku. Goresan cerita pilu nan indah yang telah berhasil mencuri setengah ingatanku tentang kejadian-kejadian menakjubkan yang pernah ada.

Sebenarnya, belum lama ku pijaki suatu perkumpulan ini. perkumpulan yang katanya memiliki beberapa tujuan, yang salah satu diantara tujuan itu adalah mempererat ukhwah lillah dengan sama-sama berjuang dan berjihad Fii sabiiliLlaah demi menggapai mardhotillah. Yup! PK. HIMA-HIMI PERSIS UIN SGD BDG. Singkat cerita, mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Di sana, aku banyak menemukan guru yang mampu mengajariku arti sebuah kebersamaan, kasih sayang, keikhlasan, kesabaran dan juga rasa syukur. Pada intinya, mereka terlalu indah diungkapkan dengan kata-kata.

Jumat, 10 Januari 2014. Tepat pukul 11.08 kami (HIMA-HIMI PERSIS PK. UIN SGD BDG) menginjakkan kaki di desa Mekar Sari, cigoong. Rencananya, di sini kami akan melakukan kegiatan Bakti Sosial untuk membantu meringankan dan memperbaiki keadaan masyarakat di sini agar menjadi jauh lebih baik selama 13 hari. “Meungkeut kanyaah, miara kadeudeuh dina ngawangun duduluran anu pageuh.” Begitulah tema BAKSOS kali ini. Yang diketuai oleh A. Anggi dan Teh Zaky dari SC, juga ada Rifky sebagai ketua OC. Perjalanan yang melewati medan yang menanjak, sempat membuat beberapa HIMI ketakutan hingga ada beberapa orang yang berteriak, terutama Azma, suaranya sangat melengking hingga memenuhi seluruh isi kolbak. He.. Dia memang sangat ketakutan menaiki kendaraan yang melewati tanjakan. Azma adalah sekretaris OC dalam BAKSOS ini, sekaligus anggota HIMI yang paling polos. Hehe

Sesampainya di sana, kami bergegas membereskan barang-barang perbekalan selama 2 pekan. Beberapa orang ada yang segera mengunjungi rumah Pak Tata (shohibul bait) untuk sekedar beristirahat dan memberi kabar bahwa kami telah sampai. Sebagian orang juga ada yang mengeluarkan barang-barang dari kolbak dan menyimpannya di sebuah rumah sederhana yang telah disiapkan khusus untuk kami, yang letaknya masih terlihat jelas dari rumah pak Tata. Ada perbincangan kecil di sana, yang (kalau tidak salah) diprovokatori oleh teh Widiana Titik R alias teh Day. Entah membahas tentang apa, yang jelas teh Day selalu mengundang tawa jika sudah mulai berbicara. Inilah yang membuatku selalu merasa senang bila berada di dekatnya hehe.

Selang beberapa menit, kami khususnya para HIMI dipanggil ke rumah yang di dalamnya telah tersimpan barang-barang kami. Di sana tersedia beberapa kamar, dan ada satu kamar yang katanya sih disebut ‘kamar pengantin’, sebagai sebuah candaan. Setiap kali ada orang yang memasuki kamar itu, lalu keluar, selalu saja kami yang di luar kamar menggoda mereka dengan menyebut mereka adalah pengantin. He.. Tapi tak apa, bukankah perkataan ialah sebuah do’a?

Sementara itu HIMA berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat jumat, dan kami para HIMI membereskan barang-barang yang masih belum tertata rapi. Setelah itu, sebagian ada yang melihat-lihat isi rumah, yang beralaskan papan-papan dan juga kondisi kamar mandi yang masih tradisional, alias belum menggunakan keran melainkan masih menggunakan pipa-pipa paralon yang mengalirkan air langsung dari gunung. Sebagian lagi ada yang beristirahat sambil berbincang-bincang, dan sebagian lainnya sholat dzuhur yang nantinya bergiliran.
Dalam obrolannya, teh Nurul, teh Rina, *sang demisioner, teh Eli (bu Ketum), dan yang lainnya (lupa saking banyaknya he) tak jarang menghadirkan gelak tawa. Dimulai dari diskusi tentang dosen, KRS, sampai sharing tentang mata kuliah. Intinya pembahasan di sana mengenai perkuliahan, dan akhirnya kami terlarut dalam obrolan.
***

Kabut pagi menyelimuti langit, bersama deretan embun yang diturunkannya membuat alam semakin terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Pori-pori kulit terasa seolah terbuka dengan sangat lebar hingga memberi banyak kesempatan kepada angin untuk masuk dan membuat badan semakin terasa dingin. Pukul 3 pagi, basecamp himi sudah mulai ramai menunggu antrean kamar mandi. Dengan badan yang menggigil dan mata yang masih terasa berat untuk dibuka lebar, kami tetap menjalaninya dengan indah untuk kemudian bergiliran menggelarkan sajadah cinta di atas papan-papan beralaskan sehelai tikar dan mempersembahkan sujud terindah pada sang Maha Cinta. Sesekali suara jangkrik dan paraunya katak ikut meramaikan suasana, membuat teman-teman yang masih terlelap pun ikut terbangun pula. Setelah semuanya selesai, kami bergegas menuju masjid untuk mendirikan sholat shubuh berjama’ah dan menyertakan Al-Quran dalam genggaman, salah satu ‘peta’ hidup yang mengantarkan ummat muslim pada jalan keindahan.

Ku rasakan aura semangat menguasai Cigoong hari itu. Pagi pertama, para panitia ada yang menyapu halaman dan jalanan sekitar Cigoong. Ada juga yang sibuk untuk memasangkan Baligho, sampai kerepotan, karena ternyata ukurannya terlalu besar. He.. Lalu ada yang memasak, ada yang mengantri kamar mandi untuk sekedar cuci tangan dan mandi, ada juga yang ikut senam bersama anak-anak MI Madarikul Huda (Agnia dan Irhamni he..) ada pula yang bersiap-siap untuk melakukan sosialisasi ke rumah-rumah warga. Semua, sangat sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Setelah semuanya selesai, seluruh anggota HIMA-HIMI Persis menyebar, bersosialisasi dengan warga sekitar memberitahukan keberadaan kami, bahwa kami datang dengan niat yang baik. Ada hal yang berkesan di sini. Kami mengenal salah satu anak dari Pak Tata yang sudah berkeluarga, namanya Ibu Sinta yang pertama kali dikenal dengan sebutan Teteh Kece. Karena memang, beliau memiliki paras yang cantik dan beliau juga adalah orang yang memiliki semangat yang tinggi dan energik walau usianya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kami. Rumahnya persis berada di depan dan agak sedikit menjurus ke kiri dari basecamp himi. Kami disambut dengan baik oleh beliau di sini. Dimulai dari sering dikunjungi untuk berbincang-bincang sederhana, dikirimi makanan, hingga dipersilahkan untuk menggunakan kamar mandi rumahnya ketika persediaan air di basecamp himi habis. Kami sangat berterimakasih kepada teteh Kece, yang sekarang lebih akrab kami panggil “ummi”, atas semua yang telah diberikannya kepada kami selama kami berada di sana. Maaf yang sebanyak-banyaknya tak lupa kami haturkan pada ummi dan abi (sang suami) yang telah banyak direpotkan dan dingganggu kenyamanannya. Jazakumullaah khairan katsiiran ummi, abi, you’r all the best :D
***

Jadwal sabtu ini, di MTS Madarikul Huda mengadakan kepesantrenan dan mabit. Semua murid, dimulai dari kelas VII sampai kelas XI diperintahkan untuk mengikutinya. Acaranya dimulai sore hari, ba’da ashar. Dalam kepesantrenan ini mereka dibekali ilmu-ilmu tentang keagamaan, dan untuk tema kali ini Pak Arifin salah satu guru di sana mengatakan, untuk lebih difokuskan pada akhlak. Pemateri yang disuguhkan untuk mereka pada hari itu adalah A. Yusuf (Ketum HIMA) dan Teh Eli (Ketum HIMI) yang dimoderatori oleh Teh Omi (kalau tidak salah ingat he..).

Luar biasa. Anak-anak begitu antusias. Diawali dengan sapaan dari Teh Omi pada anak-anak, “Apakabar kalian hari ini?”, serempak anak-anak menjawab, “Alhamdulillaah, luar biasa, berkarakter, aaantusias!”. Acarapun berjalan sebagaimana mestinya. Ba’da maghrib, anak-anak dibagi kelompok untuk nantinya dibekali ilmu tahsin, yaitu belajar tartil membaca Al-Quran, dengan mentornya masing-masing sampai adzan Isya berkumandang. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan bermuhasabah. Anak-anak diingatkan, dan diarahkan agar lebih banyak bertafakkur dan mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Kasih sayang orang tua, kesehatan, harta, dan nikmat lainnya yang terkadang mereka lupa untuk mensyukurinya. Dengan dipandu oleh Risda, tidak sedikit dari mereka yang menitikkan air mata. Bertafakkur, betapa menyesalnya mereka telah menyia-nyiakan kesempatan dan kasih sayang dari kedua orang tua mereka.

Kegiatan kepesantrenan malam itu berlanjut dini hari. Pukul 3 pagi anak-anak dibangunkan dan bergiliran mengambil air wudhu untuk melaksanakan Qiyamullail berjama’ah. Dan disambung shalat shubuh, lalu kultum. Yang ketika itu kultum disampaikan oleh santri di sana, juga oleh panitia baksos yang tak mau kalah berdakwah. Semua materi kultum berorientasi pada akhlak, yang diharapkan dapat membantu mengingatkan dan menyadarkan masyarakat muda, khususnya tentang pergaulan dimasa sekarang ini. Setelah kultum selesai, anak-anak pun diperkenankan untuk kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing, untuk nantinya kepesantrenan akan diadakan kembali pekan depan.
***

Hari demi hari kami terus melakukan pendekatan kepada warga sekitar. Dan memberitahukan bahwa akan ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh panitia baksos. Diantaranya, seminar ZIS (Zakat Infaq Shadaqah) yang akan diadakan di gedung kelas MTS Madarikul Huda ba’da dzuhur dengan menghadirkan pemateri dari PZU (Pusat Zakat Ummat) yaitu kang Angga. Seminar leadership yang diadakan di tempat yang sama dengan mendatangkan pemateri dari ketua Pimpinan Wilayah HIMA Persis yaitu kang Ridwan, Tarbiyatunnisa, teh Eli (bu Ketum HIMI) sebagai pemateri, Pengobatan gratis (bekam, gurah mata, dan sebat rotan), Penyuluhan Pertanian, Khitanan Massal, bazar murah, lomba-lomba untuk anak-anak diniyah, Kreasi Seni dan Tabligh Akbar. Semua panitia bekerja sesuai dengan amanahnya masing-masing.

Tak hanya itu, kami juga memiliki jadwal untuk mengajar di RA Madarikul Huda, Diniyah Madarikul Huda, mengajar pelajaran Agama di MTS Madarikul Huda, juga Diniyah Nurul Iman di Cibeurang, yang lokasinya cukup jauh dan menguras tenaga hingga membuat kami harus pandai mengatur nafas karena jalanannya ada yang menanjak dan menurun. Namun di samping itu, langkah yang dijejakki, nafas yang terkadang tak terkendali, dan lelah yang mengiringi, semuanya terbayar sudah dengan pemandangan yang disuguhkan oleh alam. Mereka seolah berbicara, bahwa ada kuasa Allah di sini. Gunung yang menjulang tinggi, pepohonan yang berdiri tegak, dedaunan yang begitu hijau, hamparan langit yang begitu luas, gumpalan kabut yang begitu tebal, dan rintik air langit mengajarkanku arti sebuah keindahan dan kekuasaanNya. Mereka sangat sulit untuk dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena mereka lebih dari sekedar indah.

Selama di sana, air langit menjadi sahabat kami. Jalanan yang berlumpurpun menjadi makanan sehari-hari. Membuat kami para HIMI, kaus kaki bersih menjadi pemandangan yang langka. Kalaupun ada, pasti masih mengandung air karena baru saja dicuci dan sulit kering karena mentari tak juga mengunjungi kami. Sampai-sampai satu dan yang lainnya berintruksi kepada teman-teman yang lain, “Tolong rada dikondisikan ya kakinya, jangan ada yang nginjek sepatu aku!” he.. Ya, ini adalah salah satu letak rasa syukur kami. Bisa jadi, ketika di Bandung sedang dalam keadaan panas, selalu saja mengeluh kegerahan dan mengumpat. Tissue pun habis diburu para akhwat dan bahkan juga ikhwan, untuk mengusap keringat mereka. Tapi di sini? Mentari adalah sosok yang dinanti. Suatu anugerah bila ada satu cahaya terang dari langit sana, dan berharap cucian kering. He..

Rutinitas dipagi hari seringkali menjadi sesuatu yang dirindukan di basecamp himi, karena masih dalam keadaan berkumpul walaupun sambil ada yang bersiap-siap untuk kemudian mengajar di tempat yang telah ditugaskan. Setelah sarapan gehu haneut dan batagor murahnya ummi, semua membereskan barangnya masing-masing. Jika ada barang yang masih tergeletak bukan pada tempatnya, maka akan ada alunan suara yang berkata, “Anda yang menyimpan, atau saya yang membuang.” He.. Begitulah candaan anak HIMI, yang kalau tidak salah kalimat itu muncul pertama kali dari mulutnya teh Day, yang kemudian menjadi jargonnya teh Rizki Is Rodiah yang biasa dikenal dengan sebutan teh Odah. Bukan begitu teh od? Hehe

Selain itu, tempat untuk tidur pun seringkali menjadi cerita yang menggelikan. Dengan beralaskan papan-papan dan sehelai tikar, tentu hanya tempat-tempat tertentu yang memiliki suhu kehangatan yang stabil. Tak jarang, ada yang berebut tempat tidur (seperti saya yang selalu ingin di kamar hehe), tapi ada juga yang biasa-biasa saja pasrah menerima dia tidur di mana saja, yang penting tidur. Satu rumah dengan kurang lebih 20 penghuni membuat kami terkadang ‘seseledek’ untuk mendapatkan tempat tidur. Hehe

Ah, memang terlalu banyak dan terlalu indah bila harus diceritakan semuanya.

Bersambung..

27 Januari 2014 pukul 21:39


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top